Kamis, 18 April 2013

KesMen Tulisan5


Pengertian Stress
Arti Penting Stress

Definisi stress yang sering dipakai ialah dari Hans Selye, MD. Dia ini bisa disebut sebagai “Bapak” penelitian tentang stress. Pada tahun 1956 dia mengatakan kalau “Stress is the non-spesific response of the body and any demand” (Stress ialah “respon tidak spesifik tubuh terhadap berbagai tuntutan”).
Kalau kita terus mengikuti logika Hans Selye, MD. Maka dia mengenal adanya 2 macam stress yaitu:
·         Eustress= stress yang positif dan kuratif (menyembuhkan)
·         Distress=stress yang tidak menyenangkan dan bisa menimbulkan penyakit.
Sekali lagi bagi Hans selye yang menjadi masalah ialah stress yang berlebihan (excersive stress) yang dia sebut sebagai distress tersebut.

(Sumber: Christian, M. 2005. Jinakkan Stress. Bandung: Nexx Media)

Hans Selye pada tahun 1936 tentang “General Adaptation Syndrome (GAS) (Bieliauskas, 1982; Leventhal, 1993; Helman, 1990; Taylor, 1991, dll). Menurutnya, ketika organisme berhadapan dengan stressor, dia akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan. Usaha ini diatur oleh kelenjar adrenal yang menaikkan aktivitas syaraf sympatetik. Tanpa memperhatikan penyebab dari ancaman, individu akan merespon dengan pola reaksi fisiologis yang sama (non-spesific response). Selebihnya hingga mengulangi atau memperpanjang stress, sehingga akan melicinkan dan mematahkan sistem (wear and tear of the system) (Taylor, 1991). Meskipun banyak keterbatasan dan keberatan, sampai saat ini model yang dikembangkan oleh Selye ini menjadi dasar dalam membahas masalah stress.

Sarafino (1990) mendefinisikan stress sebagai “Suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang”.

(Sumber: Smet, Bart. 1994. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia)

General Adaption Syndrome (GAS)
Terbagi atas tiga fase, yaitu:

Fase Alarm ( Waspada)
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis “fight or flight” dan reaksi fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stress memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot dan daya tahan tubuh menurun.
Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume darah dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi, teraktifasinya epineprin dan norepineprin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan ambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan “ respons melawan atau menghindar “. Respon ini bisa berlangsung dari menit sampai jam. Bila stresor masih menetap maka individu akan masuk ke dalam fase resistensi.

Fase Resistance (Melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress.
Bila teratasi gejala stress menurun àtau normal, tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac out put. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal maka individu tersebut akan jatuh pada tahapa terakhir dari GAS yaitu : Fase kehabisan tenaga.

Fase Exhaustion (Kelelahan)
Merupakan fase perpanjangan stress yang belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras. Timbul gejala penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, dll. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.
Tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres. Ketidak mampuan tubuh untuk mepertahankan diri terhadap stressor inilah yang akan berdampak pada kematian individu tersebut.


Faktor-faktor Individual dan Sosial yang menjadi Penyebab Stress

Stress sebagai interaksi antara individu dengan lingkungannya
       Pendekatan ketiga menggambarkan stress sebagai sutu proses yang meliputi stressor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antar individu dengan lingkungannya. Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional (Van Broeck, 1979; Sutherland & Cooper, 1990; Sarafino, 1990). Didalam proses hubungan ini termasuk juga proses penyesuaian. Disini stress bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respon saja tetapi juga suatu proses dimana seseorang adalah pengantara (agent) yang aktif dapat mempengaruhi stressor melalui strategi-strategi perilaku, koqnitif dan emosional. 

Sumber-sumber Stress
Sarafino (1990) membedakan sumber-sumber stress yaitu dalam diri individu, keluarga, komunitas, dan masyarakat.

Sumber-sumber stress di dalam diri seseorang
     Kadang-kadang sumber stress itu ada di dalam diri seseorang. Salah satunya melalui kesakitan. Tingkatan stress yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individ (Sarafino, 1990). Stress juga akan muncul dalam seseorang melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami konflik. Konflik merupakan sumber stress yang paling utama. Menurut Kurt Lewin, kekuatan motivasional yang melawan menyebabkan dua cenderungan yang melawan: pendekatan dan penghindaran. Cenderungan tersebut menggolongkan tiga jenis pokok dari konflik: konflik pendekatan-pendekatan, konflik penhindaran-penghindaran, konflik pendekatan-penghindaran.

Sumber-sumber stress di dalam keluarga
    Stress disini dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga, seperti; perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, tujuan-tujuan yang saling berbeda, dll. 

Sumber-sumber stress di dalam komunitas dan lingkungan
       Interaksi subyek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stress. Contohnya; pengalaman stress anak-anak di sekolah dan di beberapa kejadian kompetitif, seperti olah raga. Sedangkan beberapa pengalaman stress orang tua bersumber dari pekerjaannya dan lingkungan yang stressful sifatnya. Khususnya “occupational stress” telah diteliti secara luas.

Stress yang berasal dari lingkungan
      Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan fisik seperti; kebisingan, suhu yang terlalu panas, kesesakan, angin badai (tornado, tsunami). Stressor lingkungan mencakup stressor secara makro seperti migrasi, kerugian akibat teknologi modern seperti kecelakaan lalu lintas, bencana nuklir (Peterson dkk, 1991) dan faktor sekolah (Graham, 1989).

(Sumber: Smet, Bart. 1994. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia)

                Tipe-Tipe Stress
  
Tekanan-Konflik
 Tekanan Kita dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar diri, atau keduanya. Ambisi personal bersumber dari dalam tetapi kadang dikuatkan oleh harapan-harapan dari pihak di luar diri.
Konflik
·                           Konflik terjadi ketika kita berada di bawah tekanan untuk berespon simultan terhadap dua atau lebih kekuatan-kekuatan yang berlawanan.
·         Konflik menjauh-menjauh : individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama tidak disukai.
·         Konflik mendekat-mendekat: individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama diinginkan.
·                  Konflik mendekat-menjauh: terjadi ketika individu terjerat dalam situasi dimana ia tertarik sekaligus ingin menghindar dari situasi. Ini adalah bentuk konflik yang paling sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari sekaligus sulit untuk diselesaikan.

Frustasi-Kecemasan
Frustasi
Frustasi terjadi ketika motif atau tujuan kita mengalami hambatan dalam pencapaiannya. Bila kita telah berjuang keras dan tetapi kita gagal, bila kita dalam keadaan terdesak dan terburu-buru kemudian terhambat untuk melakukan sesuatu, bila kita sangat memerlukan sesuatu dan sesuatu itu tidak dapat diperoleh, maka kita juga akan mengalami frustasi.


 Kecemasan
merupakan hal yang normal terjadi pada setiap individu, reaksi umum terhadap stress kadang dengan disertai kemunculan kecemasan. Namun kecemasan itu dikatakan menyimpang bila individu tidak dapat meredam (merepresikan) rasa cemas tersebut dalam situasi dimana kebanyakan orang mampu menanganinya tanpa adanya kesulitan.

Kecemasan dapat muncul pada situasi tertentu seperti berbicara didepan umum, tekanan pekerjaan yang tinggi, menghadapi ujian. Situasi-situasi tersebut dapat memicu munculnya kecemasan bahkan rasa takut. Namun, gangguan kecemasan muncul bila rasa cemas tersebut terus berlangsung lama, terjadi perubahan perilaku.

Gangguan kecemasan diperkirakan diidap 1 dari 10 orang. Menurut data National Institute of Mental Health (2005) di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami gangguan kecemasan pada usia 18 tahun sampai pada usia lanjut. Ahli psikoanalisa beranggapan bahwa penyebab kecemasan neurotik dengan memasukan persepsi diri sendiri, dimana individu beranggapan bahwa dirinya dalam ketidakberdayaan, tidak mampu mengatasi masalah, rasa takut akan perpisahan, terabaikan dan sebagai bentuk penolakan dari orang yang dicintainya. Perasaan-perasaan tersebut terletak dalam pikiran bawah sadar yang tidak disadari oleh individu.

Pendekatan-pendekatan psikologis berbeda satu sama lain dalam tekhnik dan tujuan penanganan kecemasan. Tetapi pada dasarnya berbagai tekhnik tersebut sama-sama mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber kecemasan mereka.

Kategori gangguan kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorsers (DSM) IV:
yang sering dibahas diantaranya adalah:
  1. Gangguan panik tanpa agoraphobia 
  2. Gangguan panik dengan agoraphobia
  3. Agoraphobia tanpa riwayat gangguan panic
  4. Phobia spesifik
  5. Phobia social
  6. Gangguan obsesif-kompulsif
  7. Gangguan stres pasca traumatic
  8. Gangguan stres akut
  9. Gangguan kecemasan umum
  10. Gangguan kecemasan yang tidak terdefinisi

Pendekatan problem solving terhadap stress

Strategi coping yang spontan mengatasi stress
Taylor (1991) mengemukakan 8 strategi coping yang berbeda: (a) Konfrontasi, (b) mencari dukungan sosial, (c) merencanakan pemecahan masalah dikaitkan dengan ‘problem-focused coping’. Strategi coping lainnya memfokuskan pada pengaturan emosi: (d) kontrol diri, (e) membuat jarak, (f) penilaian kembali secara positif (positive reappraisal), (g) menerima tanggung jawab dan (h) lari/penghindaran (escape/avoidance) (Taylor, 1991). Tetapi penelitian lainnya menetapkan jumlah dan jenis strategi coping yang berbeda. Contohnya, Cohen & Lazarus (1983) memberikan 5 cara coping, Vingerhoets dkk. (1990) 7 cara dan Sarafino (1990) mengidentifikasi 6 cara coping. Carver, Scheier dkk bahkan memberikan 13 skala yang berbeda (Eiser, 1990).
Perlu diketahui, bahwa tidak ada satu pun metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stress. Tidak ada strategi coping yang paling berhasil. Strategi coping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stress dan situasi (Rutter, 1983). Keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stress, dari pada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling berhasil (Taylor, 1991).

(Sumber: Smet, Bart. 1994. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar