Pengertian Stress
Definisi stress yang sering dipakai ialah dari Hans Selye, MD.
Dia ini bisa disebut sebagai “Bapak” penelitian tentang stress. Pada tahun 1956
dia mengatakan kalau “Stress is the non-spesific response of the body and any
demand” (Stress ialah “respon tidak spesifik tubuh terhadap berbagai
tuntutan”).
Kalau kita terus mengikuti logika Hans Selye, MD. Maka dia
mengenal adanya 2 macam stress yaitu:
·
Eustress= stress yang positif
dan kuratif (menyembuhkan)
·
Distress=stress yang tidak
menyenangkan dan bisa menimbulkan penyakit.
Sekali lagi bagi Hans selye yang menjadi masalah ialah stress
yang berlebihan (excersive stress) yang dia sebut sebagai distress tersebut.
(Sumber: Christian,
M. 2005. Jinakkan Stress. Bandung:
Nexx Media)
Hans Selye pada tahun 1936 tentang “General Adaptation Syndrome (GAS)
(Bieliauskas, 1982; Leventhal, 1993; Helman, 1990; Taylor, 1991, dll).
Menurutnya, ketika organisme berhadapan dengan stressor, dia akan mendorong
dirinya sendiri untuk melakukan tindakan. Usaha ini diatur oleh kelenjar
adrenal yang menaikkan aktivitas syaraf sympatetik. Tanpa memperhatikan
penyebab dari ancaman, individu akan merespon dengan pola reaksi fisiologis
yang sama (non-spesific response). Selebihnya hingga mengulangi atau memperpanjang
stress, sehingga akan melicinkan dan mematahkan sistem (wear and tear of the
system) (Taylor, 1991). Meskipun banyak keterbatasan dan keberatan, sampai saat
ini model yang dikembangkan oleh Selye ini menjadi dasar dalam membahas masalah
stress.
Sarafino (1990) mendefinisikan stress sebagai “Suatu kondisi
disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan
persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan
sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang”.
(Sumber: Smet, Bart. 1994. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia)
General Adaption
Syndrome (GAS)
Terbagi atas tiga
fase, yaitu:
Fase Alarm ( Waspada)
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari
tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis “fight or
flight” dan reaksi fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran
darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan
ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stress memengaruhi denyut
nadi, ketegangan otot dan daya tahan tubuh menurun.
Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari
tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume darah dan
akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk
meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk
keperluan adaptasi, teraktifasinya epineprin dan norepineprin mengakibatkan
denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan
ambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan
individu untuk melakukan “ respons melawan atau menghindar “. Respon ini bisa
berlangsung dari menit sampai jam. Bila stresor masih menetap maka individu
akan masuk ke dalam fase resistensi.
Fase Resistance (Melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh
berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan
tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress.
Bila teratasi gejala stress menurun àtau normal,
tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac
out put. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini
berhasil tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal maka individu
tersebut akan jatuh pada tahapa terakhir dari GAS yaitu : Fase kehabisan
tenaga.
Fase Exhaustion (Kelelahan)
Merupakan fase perpanjangan stress yang belum dapat
tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras. Timbul gejala
penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental,
penyakit arteri koroner, dll. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan,
maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.
Tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis,
akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres. Ketidak mampuan tubuh untuk
mepertahankan diri terhadap stressor inilah yang akan berdampak pada kematian
individu tersebut.
Faktor-faktor Individual
dan Sosial yang menjadi Penyebab Stress
Stress sebagai interaksi
antara individu dengan lingkungannya
Pendekatan ketiga
menggambarkan stress sebagai sutu proses yang meliputi stressor dan strain
dengan menambahkan dimensi hubungan antar individu dengan lingkungannya.
Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut
sebagai hubungan transaksional (Van Broeck, 1979; Sutherland & Cooper,
1990; Sarafino, 1990). Didalam proses hubungan ini termasuk juga proses
penyesuaian. Disini stress bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respon saja
tetapi juga suatu proses dimana seseorang adalah pengantara (agent) yang aktif
dapat mempengaruhi stressor melalui strategi-strategi perilaku, koqnitif dan
emosional.
Sumber-sumber Stress
Sarafino (1990) membedakan sumber-sumber stress yaitu dalam diri
individu, keluarga, komunitas, dan masyarakat.
Sumber-sumber stress di
dalam diri seseorang
Kadang-kadang sumber
stress itu ada di dalam diri seseorang. Salah satunya melalui kesakitan.
Tingkatan stress yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur
individ (Sarafino, 1990). Stress juga akan muncul dalam seseorang melalui
penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami
konflik. Konflik merupakan sumber stress yang paling utama. Menurut Kurt Lewin,
kekuatan motivasional yang melawan menyebabkan dua cenderungan yang melawan:
pendekatan dan penghindaran. Cenderungan tersebut menggolongkan tiga jenis
pokok dari konflik: konflik pendekatan-pendekatan, konflik
penhindaran-penghindaran, konflik pendekatan-penghindaran.
Sumber-sumber stress di
dalam keluarga
Stress
disini dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga, seperti;
perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh,
tujuan-tujuan yang saling berbeda, dll.
Sumber-sumber stress di
dalam komunitas dan lingkungan
Interaksi subyek di luar
lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stress. Contohnya; pengalaman
stress anak-anak di sekolah dan di beberapa kejadian kompetitif, seperti olah
raga. Sedangkan beberapa pengalaman stress orang tua bersumber dari
pekerjaannya dan lingkungan yang stressful sifatnya. Khususnya “occupational
stress” telah diteliti secara luas.
Stress yang berasal dari
lingkungan
Lingkungan
yang dimaksud disini adalah lingkungan fisik seperti; kebisingan, suhu yang
terlalu panas, kesesakan, angin badai (tornado, tsunami). Stressor lingkungan
mencakup stressor secara makro seperti migrasi, kerugian akibat teknologi
modern seperti kecelakaan lalu lintas, bencana nuklir (Peterson dkk, 1991) dan
faktor sekolah (Graham, 1989).
(Sumber: Smet, Bart. 1994. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia)
Tipe-Tipe Stress
Tekanan-Konflik
Tekanan Kita dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar diri, atau
keduanya. Ambisi personal bersumber dari dalam tetapi kadang dikuatkan oleh harapan-harapan
dari pihak di luar diri.
Konflik
· Konflik terjadi ketika kita
berada di bawah tekanan untuk berespon simultan terhadap dua atau lebih
kekuatan-kekuatan yang berlawanan.
·
Konflik menjauh-menjauh :
individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama tidak disukai.
·
Konflik mendekat-mendekat:
individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama diinginkan.
·
Konflik mendekat-menjauh:
terjadi ketika individu terjerat dalam situasi dimana ia tertarik sekaligus
ingin menghindar dari situasi. Ini adalah bentuk konflik yang paling sering
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari sekaligus sulit untuk diselesaikan.
Frustasi-Kecemasan
Frustasi
Frustasi terjadi ketika motif atau tujuan kita mengalami hambatan
dalam pencapaiannya. Bila kita telah berjuang keras dan tetapi kita gagal, bila
kita dalam keadaan terdesak dan terburu-buru kemudian terhambat untuk melakukan
sesuatu, bila kita sangat memerlukan sesuatu dan sesuatu itu tidak dapat
diperoleh, maka kita juga akan mengalami frustasi.
Kecemasan
merupakan hal yang normal terjadi pada setiap
individu, reaksi umum terhadap stress kadang dengan disertai kemunculan
kecemasan. Namun kecemasan itu dikatakan menyimpang bila individu tidak dapat
meredam (merepresikan) rasa cemas tersebut dalam situasi dimana kebanyakan
orang mampu menanganinya tanpa adanya kesulitan.
Kecemasan dapat muncul pada situasi tertentu seperti berbicara didepan umum, tekanan pekerjaan yang tinggi, menghadapi ujian. Situasi-situasi tersebut dapat memicu munculnya kecemasan bahkan rasa takut. Namun, gangguan kecemasan muncul bila rasa cemas tersebut terus berlangsung lama, terjadi perubahan perilaku.
Gangguan kecemasan diperkirakan diidap 1 dari 10 orang. Menurut data National Institute of Mental Health (2005) di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami gangguan kecemasan pada usia 18 tahun sampai pada usia lanjut. Ahli psikoanalisa beranggapan bahwa penyebab kecemasan neurotik dengan memasukan persepsi diri sendiri, dimana individu beranggapan bahwa dirinya dalam ketidakberdayaan, tidak mampu mengatasi masalah, rasa takut akan perpisahan, terabaikan dan sebagai bentuk penolakan dari orang yang dicintainya. Perasaan-perasaan tersebut terletak dalam pikiran bawah sadar yang tidak disadari oleh individu.
Kecemasan dapat muncul pada situasi tertentu seperti berbicara didepan umum, tekanan pekerjaan yang tinggi, menghadapi ujian. Situasi-situasi tersebut dapat memicu munculnya kecemasan bahkan rasa takut. Namun, gangguan kecemasan muncul bila rasa cemas tersebut terus berlangsung lama, terjadi perubahan perilaku.
Gangguan kecemasan diperkirakan diidap 1 dari 10 orang. Menurut data National Institute of Mental Health (2005) di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami gangguan kecemasan pada usia 18 tahun sampai pada usia lanjut. Ahli psikoanalisa beranggapan bahwa penyebab kecemasan neurotik dengan memasukan persepsi diri sendiri, dimana individu beranggapan bahwa dirinya dalam ketidakberdayaan, tidak mampu mengatasi masalah, rasa takut akan perpisahan, terabaikan dan sebagai bentuk penolakan dari orang yang dicintainya. Perasaan-perasaan tersebut terletak dalam pikiran bawah sadar yang tidak disadari oleh individu.
Pendekatan-pendekatan psikologis berbeda satu sama lain dalam tekhnik dan tujuan penanganan kecemasan. Tetapi pada dasarnya berbagai tekhnik tersebut sama-sama mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber kecemasan mereka.
Kategori gangguan kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorsers (DSM) IV:
yang
sering dibahas diantaranya adalah:
- Gangguan panik tanpa agoraphobia
- Gangguan panik dengan agoraphobia
- Agoraphobia tanpa riwayat gangguan panic
- Phobia spesifik
- Phobia social
- Gangguan obsesif-kompulsif
- Gangguan stres pasca traumatic
- Gangguan stres akut
- Gangguan kecemasan umum
- Gangguan kecemasan yang tidak terdefinisi
Pendekatan problem
solving terhadap stress
Strategi coping yang
spontan mengatasi stress
Taylor (1991) mengemukakan 8 strategi coping yang berbeda: (a)
Konfrontasi, (b) mencari dukungan sosial, (c) merencanakan pemecahan masalah
dikaitkan dengan ‘problem-focused coping’. Strategi coping lainnya memfokuskan
pada pengaturan emosi: (d) kontrol diri, (e) membuat jarak, (f) penilaian
kembali secara positif (positive
reappraisal), (g) menerima tanggung jawab dan (h) lari/penghindaran (escape/avoidance) (Taylor, 1991). Tetapi
penelitian lainnya menetapkan jumlah dan jenis strategi coping yang berbeda.
Contohnya, Cohen & Lazarus (1983) memberikan 5 cara coping, Vingerhoets
dkk. (1990) 7 cara dan Sarafino (1990) mengidentifikasi 6 cara coping. Carver,
Scheier dkk bahkan memberikan 13 skala yang berbeda (Eiser, 1990).
Perlu diketahui, bahwa tidak ada satu pun metode yang dapat
digunakan untuk semua situasi stress. Tidak ada strategi coping yang paling
berhasil. Strategi coping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan
jenis stress dan situasi (Rutter, 1983). Keberhasilan coping lebih tergantung
pada penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing
kejadian yang penuh stress, dari pada mencoba menemukan satu strategi coping
yang paling berhasil (Taylor, 1991).
(Sumber: Smet, Bart. 1994. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar